HUBUNGAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DENGAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL

10 Des

HUBUNGAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DENGAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Oleh : Helmy Boemiya (Boey)

 

Kata kunci : asas pacta sunt servanda, rebus sic stantibus, perjanjian internasional

A.    Pendahuluan

Negara merupakan aktor utama dan pertama dalam memainkan hubungan kerjasama internasional. Di era globalisasi, hubungan kerjasama internasional semakin ramai dengan keberadaan dan diakuinya organisasi internasional sebagai salah satu pelaku dalam hubungan internasional.[1] Oleh karena itu, dengan didukung oleh kenyataan diperlukannya suatu sarana untuk menghubungkan antar negara, diperlukannya aturan-aturan yang tegas dalam bentuk perjanjian internasional (treaty). Dalam perkembangan dewasa ini perjanjian internasional akan terus berkembang dan sangat diperlukan untuk hubungan antar negara, baik yang melakukan kerjasama atau mempererat hubungan bilateral, multilateral dengan negara lain yang meliputi segala bidang seperti : bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan serta keamanan suatu negara.

Perjanjian internasional seperti kita ketahui adalah bagian dari sumber hukum hukum internasional, dalam hal ini perjanjian internasional memiliki peran yang siginifikan untuk mengharmonisasi hubungan antar negara. Perjanjian internasional pada hakikatnya  merupakan species dari genus yang berupa perjanjian pada umumnya. Dalam setiap perjanjian termasuk perjanjian internasional terdapat asas-asas yang dijadikan sebagai landasan dalam pelaksanaannya. Adapaun asas yang paling fundamental adalah asas pacta sunt servanda, yaitu bahwa janji mengikat sebagaimana undang-undang bagi yang membuatnya. Dikatakan fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian internasional. Dan pelaksanaan perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan oleh para pihak. Sebagai pasangan dari asas pacta sunt servanda adalah asas itikad baik.[2]

Di pihak lain berlakunya atau beroperasinya suatu perjanjian, termasuk juga dapat di pengaruhi atau harus memperhatikan asas hukum yang lain, seperti asas pacta tertiis nec nocent prosunt, asas non-retroactive, asas rebus sic stantibus, dan norma jus cogens.[3] Dalam hal ini terjadi pertemuan antara asas pacta sunt servanda dengan asas rebus sic stantibus, dimana dalam asas pacta sunt servanda dikatakan, perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dalam hal ini subjek hukum internasional mengikat bagi pembuat perjanjian dan dijadikan dasar atau landasan untuk melaksanakan apa yang di perjanjikan. Tetapi dalam asas rebus sic stantibus dikatakan bahwa perjanjian dapat ditangguhkaan atau di batalkan karena adanya perubahan yang fundamental, sehingga negara pembuat perjanjian dapat melepaskan atau mengingkari janj-janji yang telah di setujui dalam perjanjian. Berdasarkan uraian diatas menarik dikaji ialah mengenai bagaimana keterkaitan atau hubungan antara asas pacta sunt servanda dengan rebus sic stantibus dalam perjanjian internasional.

`

B.     Pemaknaan Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional tidak dapat dipisahkan daripada hukum internasional, karena perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional. Hukum internasional yang kita maksud dalam hal ini adalah hukum internasional publik yaitu keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.[4] Istilah lain mengenai hukum internasional ialah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa atau hukum antar negara.

Tentunya kita semua mengetahui selain perjanjian internasional sumber hukum internasional lainnya menurut pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional terdapat kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum, prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa, keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka atau doktrin. Sangat jelas Perjanjian internasional merupakan elemen penting dalam kerjasama antar negara, menurut Mochtar Kusumaatmadja[5] dalam bukunya menyatakan perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. dari batasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional.

Peristilahan mengenai perjanjian banyak sekali menurut J.G. Starke[6] kata lain dari perjanjian internasional adalah traktat (treaty) disamping itu terdapat istilah lain yaitu : (1) Konvensi (convention); (2) protocol; (3) Agreement; (4) persetujuan (arrangement); (5) process verbal; (6) statuta (statute); (7) deklarasi (declaration); (8) Modus Vivendi; (9) Pertukaran Nota; (10) Final Act; (11) General Act. Dalam perjanjian internasional tentunya terdapat asas-asas sebagai landasan pembentukan perjanjian itu sendiri, telah disinggung  dalam pendahuluan terdapat asas pacta sunt servanda yang menjadi asas fundamental dalam pembentukan perjanjian internasional dan adanya asas rebus sic stantibus sebagai asas untuk  mempertangguhkan dan memebatalkan suatu perjanjian.

C.Kaitan Asas Pacta Sunt Servanda Dengan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Internasional

Pentingnya mengerti dan memaknai asas dalam hukum, oleh beberapa sarjana penggunaan asas disamakan artinya dengan prinsip (principle), yang artinya ialah dasar atau alas dan landasan pembentukan hukum.

1.      Asas pacta sunt servanda,

Pacta sun servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus ditepati. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law, yang dalam perkembangannya diadopsi dalam ke dalam hukum internasional. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara individu, yang mengandung makna bahwa [7]:

1.      Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

2.      mengisaratkan bahwa pengingkaran  terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.

Menurut pendapat Aziz T. Saliba[8] asas pacta sunt servanda merupakan sakralisasi atau suatu perjanjian yang titik fokusnya dari hukum perjanjian adalah kebebasan berkontrak atau yang dikenal dengan prinsip otonomi[9]. Asas pacta sunt servanda juga memiliki akar religi dalam hukum islam yakni dalam Al-Quran surat Al Maidah dan surat Al Isra’ yang pada intinya menyeru pada manusia untuk menepati janji terhadap Tuhannya dan terhadap sesamanya.[10]

Perwujudan asas pacta sunt servanda terdapat dalam pasal 2 ayat (2) Piagam PBB yang pada intinya menyatakan negara-negara anggota PBB terikat memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai anggota dan telah menerima hak-hak dan keuntungan sebagai anggota PBB. Kemudian terdapat dalam alenia ketiga pembukaan konvensi Wina 1969 dan 1986. Asas pacta sunt servanda berpasangan dengan asas itikad baik, hal ini terdapat pada pasal 26 konvensi Wina 1969 dan 1986 yang menyatakan bagi pihak-pihak yang telah menjadi pihak pada suatu perjanjian terikat untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.

Perwujudan asas pacta sunt servanda dalam hukum nasional Indonesia terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan[11] : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (2) persetujuan itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Kemudian pasal 4 ayat (1) UU No 24 Tahun 2000 menyatakan[12] : Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.

2.      Asas rebus sic stantibus

Sejak abad XII dan XIII ahli hukum kanomik telah mengenal asas rebus sic stantibus yang dalam bahasa latinnya contractus qui habent  tractum succesivu et depentiam de future rebus sic stantibus intelliguntur, yang artinya bahwa “perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya untuk melaksanakannya pada masa yang akan datang harus diartikan tunduk kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan datang tetap sama”[13]. Asas rebus sic stantibus pertama kali diterapkan oleh peradilan keagamaan. Diterapkannya asas ini oleh pengadilan keagamaan karena situasi yang terjadi pada waktu itu adanya pemisahan antar urusan gereja dengan urusan negara. Dan ini merupakan ciri dari kode napoleon.[14]

Machievelli[15] menyatakan juga bahwa segala sesuatu tergantung pada keadaan-keadaan yang kebetulan berlaku pada suatu waktu yang dihadapi oleh penguasa, kemudian Alberico Gentili[16] menyatakan bahwa yang paling penting atas hukum traktat (perjanjian) ialah dalil bahwa perjanjian selalu mengandung syarat tersimpul, yaitu bahwa traktat hanya mengikat selama kondisinya tidak berubah. Pendapat dari Machievelli dan Alberico gentili merupakan makna dari asas rebus sic stantibus.

Perkembangan asas rebus sic stantubus mengalami pasang surut, dimana pada abad XVIII asas ini mulai memudar dengan tidak diadopsinya asas ini pada kode napoleon dan Italian civil code,hal ini nampak pada artikel 1134 kode napoleon, namun kemudian setelah perang dunia I para ahli hukum mulai mengembangkan lagi asas rebus sic stantibus untuk melonggarkan isi perjanjian yang sulit dilaksanakan oleh negara yang membuat perjanjian.[17]

Perwjudan asas rebus sic stantibus terdapat  dalam konvensi Wina 1969, yaitu dalam seksi 3 tentang pengakhiran dan penundaan bekerjanya perjanjian internasional, khususnya  pasal 62 yang menyatakan [18]:

 “1. Suatu perubahan keadaan mendasar yang telah terjadi terhadap keadaan yang ada pada saat penutupan traktat, dan tidak dapat diduga oleh para pihak, tidak dapat dikemukakan sebagai dasar untuk pengakhiran atau penarikan diri dari perjanjian   kecuali :

(a) Keberadaan keadan-keadaan itu merupakan suatu dasar penting bagi para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian; dan

(b) Akibat dari perubahan itu secara radikal memperluas kewajiban yang harus dilaksanakan di bawah perjanjian.

2. Suatu perubahan keadaan mendasar tidak boleh dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian, jika :

(a)   Perjanjian tersebut menetapkan batas wilayah; atau

(b) Perubahan itu merupakan hasil dari pelanggaran oleh pihak yang mengemukakannya baik atas suatu kewajiban dalam perjanjian atau setiap kewajiban internasional lainnya terhadap pihak lain dari perjanjian tersebut.

3. Jika sesuai dengan ayat-ayat di atas, suatu pihak boleh menuntut suatu perubahan keadaan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian, maka pihak tersebut juga dapat menuntut perubahan sebagai dasar untuk menunda berlakunya perjanjian tersebut.”

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia keberadaan asas rebus sic stantibus terdapat dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000 yang menyatakan[19] :

Perjanjian internasional berakhir apabila :

a.       Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang  ditetapkan dalam perjanjian;

b.      tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;

c.       Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;

d.      Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;

e.       Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;

f.       Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;

g.      Objek perjanjian hilang;

h.      Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Kemudian terdapat dalam pasal 1381 KUHPerdata yang menyatakan [20]:

“Perikatan hapus karean pembayaran; penawaran pembayaran tunai; diikuti dengan penyimpangan atau penitipan; pembaruan utang; perjumpaan utang atau kompensasi; percampuran utang; musnahnya barang yang terutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab 1 buku ini dan karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri”.

3.      Hubungan asas pacta sunt servanda dengan asas rebus sic stantibus dalam perjanjian internasional.

Hubungan antara asas rebus sic stantibus dengan asas pacta sunt servanda. Asas-asas hukum merupakan landasan pembentukan hukum, begitu juga dengan asas rebus sic stantibus dan asas pacta sunt servanda yang menjadi dasar pembentukun perjanjian-perjanjian internasional. Dengan berdasarkan pada asas pacta sunt servanda menjadi dasar pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak  peserta perjanjian. Hampir-hampir dapat dikatakan bahwa berlakunya asas pacta sunt servanda yang demikian adalah mutlak. Hans kelsen juga menyatakan bahwa pacta sunt servanda merupakan norma dasar (grundnorm)[21].

Asas pacta sunt servanda dalam perkembangannya, mengalami pergeseran dalam mempertahankan berlakunya suatu perjanjian, sebab pada kenyataannya suatu perjanjian terpengaruh dengan suatu situasi yang terjadi pada saat itu dan pada gilirannya akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban para pihak. Bila demikian jadinya maka berlakunya perjanjian akan terganggu dan dibutuhkan jalan keluar pemecahannya. Situasi yang demikian menimbulkan problem yang lebih komplek, yaitu adanya pertentangan antara daya laku hukum secara kekal yang mempertahankan keadaan berlakunya suatu perjanjian dengan kekuatan-kekuatan yang menghendaki adanya perubahan.

Oleh Gentili[22] dikatakan untuk mengatasi pertentangan itu asas rebus sic stantibus lah yang dapat melegalisir. Ini artinya bahwa berlakunya asas pacta sunt servanda dapat disimpangi oleh asas rebus sic stantibus. Namun walau sudah diterima dengan baik asas rebus sis stantibus perlu hati-hati sekali agar tidak disalahgunakan atau digunakan sebagai alasan pembenar bagi suatu negara untuk tidak melaksanakan suatu kewajiban dalam perjanjian. Hal ini mengingat dalam menerapkan asas rebus sic stantibus kadang-kadan masih menimbulkan kekaburan di dalam pelaksanaannya. Apa yang di maksud dengan perubahan vital, dapat ditafsirkan bermacam-macam dalam praktek hubungan antar negara. Contohnya seperti Jerman pada tahun 1941 pernah berlindung di balik asas rebus sic stantibus untuk membenarkan pelanggarannya terhadap kenetralan Belgia, dengan jaminan tercantum dalam perjanjian London 1831[23].

Hubungan kedua asas ini ialah sebagai landasan pembentukan perjanjian internasional bagi negara-negara yang melakukannya, dimana asas pacta sun servanda mengikat para pihak untuk melaksanakan isi yang terkandung dalam perjanjian, kemudian asas rebus sis stantibus sebagai jalan untuk menangguhkan dan membatalkan perjanjian dengan memberi aturan atau persyaratan kepada negara atau parapihak yang tidak dapat melakukan kewajibannya atau membatalkan perjanjian dengan syarat-syarat tertentu yang juga dituangkan dalam isi perjanjian dan disepakati oleh para pihak.

Sebagai contoh hubungan asas ini terdapat pada kasus kesepakatan konferensi meja bunda (KMB) antar pemerintah Indonesia dengan Belanda, berdasarkan asas pacta sunt servanda kedua belah pihak Indonesia dan Belanda melaksanakan isi perjanjian, namun dengan seiring berjalannya waktu Indonesia membatalkan perjanjian tersebut karena terjadi perubahan fundamental dalam tatanan bernegara dan berbangsa, dimana Indonesia yang dalam isi perjanjian adalan negara serikat atau Republik Indonesia Serikat (RIS) berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena melihat situasi dan kondisi bahwa negara kesatuanlah yang cocok bagi Indonesia, sehingga Indonesia membatalkan isi perjanjian KMB dengan Belanda. Pemutusan yang demikian mendapat persetujuan DPR tertanggal 22 Mei 1956 dan di muat dalam UU No 13 tahun 1956. Sehingga jika kita mengkaji contoh kasus tersebut dapat dikatakan asas rebus sic stantibus dapat menjadi alasan untuk meniadakan asas pacta sunt servanda dalam perjanjian internasional antar negara baik itu yang bersifat bilateral, multirateral, regional dan lain sebagainya.

 

D.    Penutup

Keberadaan kedua asas dalam perjanjian internasional telah lama dikenal oleh masyarakat internasional,  dan keduanya menjadi landasan pembentukan perjanjian internasional antar negara. Dimana dengan adanya asas pacta sun servanda dijadikan sebagai dasar beroperasinya atau berlakunya suatu perjanjian. Sementara asas rebus sic stantibus menjadi dasar para pihak dalam perjanjian dapat menyatakan menunda atau membatalkan  atau mengundurkan diri dari perjanjian yang telah disepakati sepanjang dipenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam pasal 62 Konvensi Wina 1969. Kemudian hal ini disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian. Kedua asas tersebut juga sama-sama elemen penting dalam pembentukan perjanjian internasional baik hubungan bilateral, multilateral, regional dan lain sebagainya, dimana disatu sisi asas pacta sunt servanda memberikan ketegasan adanya keterikatan para pihak untuk menaati dan melaksanakan perjanjian, kemudian asas rebus sic stantibus memberikan jalan keluar apabila ingin ditangguhkannya atau dibatalkannya suatu perjanjian yang tentunya sesuai persyaratan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

J.G. Starke, 2007, Pengantar Hukum Internasional (edisis kesepuluh), Sinar Grafika. Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional (buku I-bagian umum), Putra Abidin, Jakarta.

Jurnal

Harry Purwanto, 2009, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum Volume 21 Nomor 1, Jurnal berkala FH UGM.

Harry Purwanto, 2011, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum, edisi khusus (penghormatan bagi Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie, S.H., CN. Guru Besar FH UGM), Jurnal berkala FH UGM.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Konvensi Wina 1969

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional


[1]Harry Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Internasional, , Mimbar Hukum, Jurnal berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Edisi Khusus, November 2011, Hlm 103.

[2]Ibid, hlm 104,

[3]Ibid, hlm 105

[4] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Putra Abardin cetakan kesembilan 1999. hlm 1

[5] Ibid, hlm 84

[6] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hlm 586.

[7]Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum, Jurnal berkala FH UGM, Volume 21, Nomor 1 Februari 2009, Hlm 162

[8]Ibid, 162

[9]Aziz T. Saliba dalam Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian Internasional., mimbar hukum,jurnal berkala FH UGM volume 21, nomor 1 Februari 2009. hlm 162

[10]Qur’an Surat Al Maidah ayat (1) “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” dan Surat Al Isra’ ayat (34) “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.

[11] Pasal 1338 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[12] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

[13] Op.cit Harry Purwanto, 2011 hlm  109.

[14]Ibid, hlm 110.

[15] Ibid,

[16] Ibid,

[17]Ibid,  hlm 111.

[18] Pasal 62 Konvensi Wina 1969 diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.

[19] Pasal 18 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

[20] Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[21]Op.Cit , Harry Purwanto 2011,  hlm 113.

[22]Sam Suhaedi  Admawirea dalam Harry Purwanto, Ibid,  hlm 114

[23]Ian Bierly dalam Harry Purwanto, Ibid,

Tinggalkan komentar